Rona Mistik di Balik Musibah Pesawat

Ilustrasi: ist

Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie sempat mendapati julukan unik, “Mr. Crack”. Karena beliaulah ilmuwan yang telah memecahkan persoalan pelik dalam sistem teknologi pembuatan pesawat di dunia ini. Dimana crack itu sendiri, berarti retak.

Ya, sebelum ditemukannya Teori Keretakan pada pesawat (Crack Progression Theory), penyebab paling vital dari sering terjadinya kerusakan dan kecelakaan pada pesawat itu, adalah terjadinya keretakan pada bagian-bagian sambungan sayap dan badannya.

Namun kini, setelah segala perangkat dan dukungan teknologi yang sangat lengkap pada sebuah pesawat itu terpenuhi, nyatanya peristiwa kerusakan dan kecelakaan pun, masih pula kerap terjadi. Meski penyebabnya, bukan lagi dari adanya ketidaksesuaian pada susunan dan perhitungan-perhitungan dampak keretakannya itu.

Konon, ada sejumlah penyebab yang bisa membuat sebuah pesawat yang tengah diterbangkan itu mengalami peristiwa-peristiwa nahasnya. Yakni, bisa karena human eror, kesalahan teknis, gangguan udara, faktor cuaca, kehilangan kontak, serangan nuklir atau gangguan-gangguan konspirasi dan terorisme.

Tapi, terlepas dari persoalan-persoalan konkret yang faktual itu, pada kenyataannya si penjelajah udara yang bertubuh besar dan berperangkat canggih ini pun, ada saja yang kemudian sempat mengalami kejadian-kejadian yang sangat muskilnya.

Seperti, ada yang seketika terjatuh karena melintas pada sebuah kawasan khusus yang “terlarang”, tiba-tiba menghilang dan keluar dari pantauan setelah sebelumnya sempat intens melakukan hubungan-hubungan komunikasi, seperti yang sempat teralami oleh Pesawat Sriwijaya Air dengan nomer penerbangan SJY182 tujuan Jakarta-Pontianak pada Sabtu, 9 Januari 2021. Atau bahkan ada pula yang baru bisa mendarat atau menemukan kembali jalurnya, setelah bertahun-tahun mengudara.

Sehingga jika coba dibuka, maka telah banyak sekali peristiwa soal telah hilang atau terjadinya hal-hal yang sangat tidak masuk akal, dari perjalanan sejarah panjang dunia kepesawatan ini.

Sebut saja misalnya, pada 5 Desember 1945. Dimana, Militer Amerika Serikat sempat menerbangkan 5 buah Pesawat Avenger Pengebomnya pada misi pelatihan menjelang berakhirnya Perang Dunia ke II. Namun, ketika kelima pesawat dari jenis F 19 itu melintas di atas Samudera Pasifik yang masuk pada kawasan Segitiga Bermuda, tiba-tiba saja malah sempat mengalami kehilangan kontaknya.

Sehingga beberapa jam kemudian, pihak Angkatan Laut AS pun sempat pula mengirimkan sebuah pesawat penyelamatnya. Guna melakukan pencarian. Tapi akhirnya, pesawat yang membawa 13 orang awaknya itu pun, malah sempat pula mengalami peristiwanya yang sama. Yaitu, hilang dari kontak dan tidak pula bisa diketahui rimbanya lagi.

Begitu pula halnya, dengan kejadian pada 8 Maret 2014. Dimana, sebuah pesawat penumpang jenis Boeing 777-200ER, milik dari Maskapai Malaysia Airlines, yang mengudara dengan nomor penerbangan MH370/MAS370, malah sempat pula mengalami nasib nahas yang serupanya.

Yakni, sempat menghilang dari pemantauan dan tidak lagi bisa diketahui nasibnya, hingga sekarang pun. Padahal, pesawat yang membawa 227 penumpang dan 12 awaknya itu, telah memiliki kelengkapan teknologi komunikasinya yang sangat canggih sekali.

Konon, pesawat yang tengah melalukan penerbangan komersial dari Bandara Internasional Kuala Lumpur menuju Beijing itu, tiba-tiba saja sempat mengalami kehilangan kontaknya, setelah beberapa saat melintas di kawasan Selat Malaka.

Logikanya, memang sebuah pesawat yang bertubuh besar dan telah pula dilengkapi dengan perangkat pengamanan dan sarana komunikasinya itu, jika pun sampai mengalami kendala dan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, maka mungkin tidaklah akan terlalu jauh dari pemantauan dan sistem pengendalian penerbangannya. Namun nyatanya, tidaklah demikian.

Sehingga, jika setelahnya berbagai upaya pencarian dan pelacakan pada sebuah pesawat yang sempat mengalami kehilangan kontaknya itu dilakukan, maka tudingan paling akhir yang biasanya akan sempat banyak dilontarkannya pun, tidaklah lain  akan mengarah pada hal-hal yang berbau mistik. Yaitu, yang biasanya akan diperhalus, dengan ucapan kata-kata, “misteri”.

Lantas, apakah benar adanya faktor-faktor gaib (mistik) dari setiap persoalan yang pada akhirnya tidak bisa dipecahkan dengan secara akal itu? Termasuk dalam hal bisa raibnya sebuah pesawat tersebut?

Memang, dalam hal ini pun tidaklah bisa dijawab dengan secara mudah. Atau, hanya asal-asalan saja. Sebab, persoalan-persoalan dunia gaib itu sendiri, sesungguhnya masihlah merupakan bagian dari sesuatu yang juga masih sarat dengan misteri.

Namun, sebagai penulis yang fokus mengkaji pada hal-hal yang berafiliasikan kegaiban ini, maka untuk sekedar pembanding, kiranya ada sebuah kisah yang menarik untuk disampaikan di sini.

Yaitu, yang pada saat terjadinya peristiwa jatuh dan hilangnya sebuah Pesawat Latih Jenis Cessna 172 PK-DCM di kawasan Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat, pada Februari 2003 lalu, dimana penulis yang kala itu masih aktif sebagai wartawan pada sebuah media mistik ternama di Jakarta, dengan secara khusus malah sempat pula diundang untuk mengikuti ritual pencariannya.

Dan, dari hasil ritual yang sempat digagas oleh seorang paranormal perempuan asal Bandung, yang bernama Ratu Dewi Kasih itu, akhirnya sempat pula terungkap akan adanya hal-hal yang berbau mistik dibalik peristiwa raibnya pesawat itu.

Dimana, yang setelah berbagai persyaratannya dipenuhi, maka selain bisa mengungkap mengenai nasib dan keberadaan para korbannya, dengan secara detailnya sempat pula terungkap mengenai sebab musabab dari kejadian dan hingga tidak bisa ditemukannya itu.***

(* tulisan telah dikoreksi pada 9 Januari 2021, oleh penulis guna kelengkapan data).