Now Loading

Marni Menolak

Kekuatiran Pamo terbukti ketika esoknya menyuruh Emak membangunkan Marni dan memberitahukan rencana pernikahannya. Marni melompat dari tempat tidur dan langsung keluar dari kamar hanya dengan berselimut kain panjang. Bahunya menyembul, terlihat sangat putih.

Jika bertemu di jalan, pasti saya tidak mengenalnya, kata Pamo dalam hati. Satu-satunya tanda yang meyakinkan hanyalah bekas luka bakar di lengan bagian atas.

“Dinikahkan? Mengapa waktu telepon kemarin Bapak tidak cerita soal rencana pernikahan? Bapak bilang mau ada ramai-ramai untuk menyambut kepulanganku. Mau nanggap jaran kepang. Kok malah acara lamaran dan pernikahan segala?!” semprot Marni begitu bertemu Pamo di ruang tengah.

Marni teringat pada ucapan sais andong semalam. Bukankah dia juga bilang aku akan dinikahkan hari ini? Berarti kabar pernikahannya sudah menyebar ke mana-mana sementara aku sendiri belum tahu, sesal Marni.

“Itu kemauan kamitua kampung…”

“Terserah siapa yang menghendaki, tapi yang jelas aku tidak mau dijodohkan, tidak mau dipaksa nikah dengan cara begini,” tegas Marni. “Aku sudah dewasa, sudah bisa menentukan jalan hidupku sendiri. Aku bukan lagi gadis dusun yang mau dinikahkan dengan orang yang tidak dikenalnya!”

Pamo terdiam mendengar hujaman kata-kata pedas dari Marni. Hatinya semakin ciut. Apa yang ditakutkan sejak semalam, akhirnya jadi juga.

“Jangan ngomong begitu, tidak baik,” ujar Lastri, istri Darno. “Kamu tetap harus berbakti pada orang tuamu meski kini sudah hebat.”

“Aku akan tetap berbakti kepada kedua orang tuaku, tapi aku tidak akan menggadaikan hidupku untuk memenuhi keinginannya!” serang Marni semakin beringas. Ia sendiri bingung tiba-tiba bisa berkata seperti  itu.

“Ini untuk kepentingan kampung kita…”

“Apa? Jadi aku dikorban untuk kepentingan warga kampung?” potong Marni sambil menatap tajam  wajah Lastri. ”Mengapa bukan anak sampeyan saja yang dikorbankan?!”

“Sudah...sudah,” kata Emak mulai terisak. “Jika kamu tidak mau dijodohkan, tidak apa-apa. Tapi jangan marah-marah seperti itu.” 

“Aku sudah cukup menderita, Mak,” kata Marni dengan suara sedikit rendah. Ia mendekati Emak yang duduk di amben dan mengusap pundaknya. Tangis Emak pun pecah. “Aku berterima kasih pada Emak yang melahirkan aku ke dunia. Terima kasih juga pada Bapak yang telah mengukir jiwa ragaku. Tapi bukan berarti aku harus menuruti segala kemauan Emak dan Bapak!”

Marni sebenarnya masih ingin menumpahkan segala kekesalannya. Bertahun-tahun bekerja jadi pembantu, menafkahi kedua orang tua dan adik-adiknya, malah kini dipaksa untuk menikah dengan orang yang belum dikenal. Tetapi tatapan beberapa orang yang sejak semalam membantu menyiapkan makanan untuk hajatan, membuatnya kecut. Marni lantas masuk kamar lagi, mencari baju semalam.

“Masih basah. Pakai baju ini dulu,” kata Emak yang sudah berdiri di belakangnya.

“Aku mau mandi!” sahut Marni masih dengan suara judes.

“Iya, sudah disiapkan di belakang.”

Ia merebut pakaian di tangan Emak dan bergegas pergi ke belakang rumah. Di situ ada kamar mandi dadakan, menempel pada dinding rumah; ditutup terpal biru. Namun karena tingginya hanya sebatas leher, Marni enggan mandi di situ. Aku mau mandi di sungai saja, pikirnya. Nyaris tidak ada kamar mandi di Kampung Lembah Kematian. Dulu pun Marni selalu mandi dan buang hajat di sungai.

“Mau kemana?” tanya Emak cemas.

“Ke sungai. Aku mandi di sungai.”

Tergopoh-gopoh Emak mengikuti Marni. Jarak rumahnya dengan sungai tidak terlalu jauh. Hanya melewati kebun singkong yang tidak terlalu luas. Dekat rumpun bambu, mereka turun melalui undakan tanah. Di sepanjang sungai, banyak terdapat undakan semacam itu. Bahkan hampir setiap keluarga memiliki undakan sendiri.

Dengan susah-payah Marni akhirnya bisa sampai di atas batu. Di bawahnya, air mengalir cukup deras. Airnya sangat jernih sehingga pasir dan batu di dasar sungai terlihat jelas. Mendadak Marni ingat kejadian semalam. Ia mendongak dan mengedarkan tatapannya. Di seberang sungai, tampak pemakaman tua dipenuhi pohon kamboja. Jaraknya tidak jauh karena sungainya juga tidak terlalu lebar. Tapi mengapa semalam sungai ini terlihat sangat lebar? guman Marni.  

“Ada apa?”

“Mbah Bahuga dimakamkan di sana ya Mak?” tanya Marni sambil menunjuk ke arah makam.

Spontan Emak berseru, “Jangan ditunjuk!”

“Kenapa?”

“Nanti kualat! Mbah Bahuga tidak suka ditunjuk-tunjuk seperti itu. Cepat minta maaf, Nduk!”

“Emak ini ada-ada saja.  Masa minta maaf sama orang mat…” Marni tidak jadi meneruskan kalimatnya. Ia tertegun ketika matanya bersirobok pandang dengan sais delman semalam. Laki-laki tua itu tengah duduk di balik rimbun pohon perdu yang tumbuh di tepi sungai, di bawah pemakaman!