Perempuan Penunggu Gang

Ilustrasi Neni Rusliana

Waktu telah menunjukkan pukul 2.00 WIB, gang sepanjang 250 meter ini harus aku lalui dengan berjalan kaki, tadi motorku terpaksa harus kutinggalkan di kantor karena tiba-tiba mogok. Entah apa yang rusak? Aku tidak begitu ahli dalam mengutak-atik mesin motor, aku bisanya hanya pakai saja.

 

Setelah lima langkah masuk bibir gang, aku tersadar bahwa hari ini adalah hari Kamis dan tentunya malam ini adalah malam Jumat, Kliwon pula. Suatu kebetulan yang sangat sempurna. Gang ini terkenal angker, gang sempit yang hanya mampu memuat satu buah motor ini adalah jalan satu-satunya menuju perkampungan di mana aku tinggal. Daerah kumuh di pinggiran kota Bandung.

 

Dua sisi tembok samping kiri dan kanan adalah pembatas sebuah pabrik seprei dan gudang penyimpanan spare part mobil. Kalau siang gang ini cukup ramai oleh pejalan kaki, yang rata-rata adalah pegawai dua perusahaan tersebut. Tapi, jangan harap kalau malam tiba, ada orang yang berani melintas di gang ini, masuk Maghrib jalanan ini akan terasa sepi.

Lampu temaram di sepanjang jalan menambah kesan angker gang ini. Belum lagi kalau gerimis tiba, lampu jalan akan terasa turun spaneng. 


Sialan! Tiba-tiba pikiranku kacau sekali. Sejumlah kisah menyergap pikiranku. Cerita si Soleh, si Mang Andi tukang sekoteng atau Mak Iroh tetangga sebelah penjual nasi uduk di Pasar Caringin memenuhi pikiranku. Di gang ini telah melegenda kisah, ada penunggunya. Katanya seorang perempuan bernama Nirmala, dia akan muncul dibarengi harum bunga setanggi. Wajahnya cantik sekali, tubuhnya semampai dengan perawakan tinggi langsing. Tiba-tiba bulu romaku berdiri. Dan aku nyaris balik kanan, untuk kembali ke kantorku, kalau saja aku tidak ingat bahwa aku telah janji pada emakku, untuk membelikannya penggaruk punggung yang terbuat dari tulang binatang. Ah Emak, demi cintaku padamu, apa pun yang menghadang akan kutempuh. Andai tadi aku tidak lembur, barangkali kini aku tengah tidur pulas di balik selimut.

Kuberanikan diri melangkah, mulutku komat-kamit merapal doa. Meski tak ada satu surat pun khatam kubaca, kuulangi lagi dari awal. Terus berulang. Dan aku gugup sekali. Entahlah, kaki ini serasa berat melangkah sementara irama jantung berdetak tak karuan.

Lampu di sepanjang gang sempit itu, mati lalu hidup lagi, begitu seterusnya. Aku ingat cerita Soleh setahun yang lalu, katanya dia bertemu dengan perempuan itu. Dan dia diketemukan pingsan di gang ini. Sampai detik ini ia tak berani lagi melalui gang sempit ini di malam hari. Mulutnya rapat terkunci, entah apa yang terjadi? Namun, apabila ditanya kejadian malam itu, matanya akan menatapku tajam dengan kengerian yang sulit kugambarkan. Begitu juga si Mang Andi penjual sekoteng, dia hanya tersenyum aneh dan mata yang menyorotkan kengerian yang sama. 
Lain lagi dengan Mak Iroh, pukul tiga malam itu ia membawa bakul nasi yang akan dibawanya ke Pasar Caringin. Mak Iroh hanya bilang bahwa ia bertemu dengan seorang perempuan yang cantik sekali, kakinya tampak melayang dan tubuhnya harum bunga setanggi. Namun, ketika mata itu saling menatap, Mak Iroh dengan tubuh tambunnya berlari sekuat tenaga. Mata itu meneteskan air mata berwarna darah.

Duh, bulu romaku berdiri kembali. Mulutku tak berhenti merapal sebuah doa, meski tidak pernah tamat kubaca. 

Sepuluh tahun yang lalu, di gang sempit ini yang lebih terkenal dengan sebutan labirin karena kedua sisi jalan diapit tembok yang lumayan tinggi. Terjadi sebuah cerita yang sangat dramatis. Seorang calon pengantin diperkosa oleh tiga orang pemuda yang tengah mabuk. Dan karena malu, perempuan itu lalu bunuh diri. Sementara ketiga pemuda yang mabuk tersebut pun, satu per satu mati dengan cara mengenaskan. Diduga mereka mati ketakutan karena dihantui oleh arwah penasaran perempuan bernama Nirmala. Aku sampai terbahak-bahak menanggapi cerita tersebut, mana ada orang mati karena hantu toh?

Kuteruskan melangkah, gang sempit itu begitu terasa makin sempit. Kedua tembok itu seolah tengah berjalan dan hendak mengimpitku. Aku tiba-tiba ingin tertawa terbahak. “Hei, ke mana Aini yang berani itu?” batinku, pada diri sendiri.

Aku toh tak pernah percaya cerita takhayul? Aku selalu tertawa terbahak kalau mendengar cerita-cerita yang irasional. Gara-gara, si Soleh, Mang Andi dan Mak Iroh, aku termakan cerita yang menggelikan. Lalu keberanian itu muncul tiba-tiba, langkahku seolah terasa ringan.

Tak sampai sepuluh langkah dari sana, tiba-tiba aku mencium harum bunga, nyaliku kembali ciut. Jangan-jangan harum bunga setanggi? Dan perempuan itu? Aku menutup mataku sambil berjalan. Sumpah, tak ada yang lebih menyeramkan dari suasana seperti sekarang ini. Ya, Tuhan, rasanya aku akan terkencing-kencing dalam celana. Bau harum bunga itu makin menusuk hidungku, kuberanikan membuka mataku. Gang masih sepi. Hanya suara cericit tikus got saling menimpali. Tak ada apa pun, sepi masih mencekam dan malam kian kelam. 

Tiba-tiba aku menangkap sesosok tubuh, tampak seperti seorang perempuan. Gemuruh dalam dadaku kian bertalu cepat. “Jangan-jangan dia, primadona gang ini,” pikirku diajak rileks. Ah. Tapi, dia tidak bergaun putih, dan kakinya tidak melayang. Berarti dia manusia kan? Aku mencoba berpikir logis. Tapi, kenapa harumnya begitu aneh, barangkali parfum toh? Tapi, kenapa malam-malam begini ia keluar? Perempuan pula? Aih, aku pun perempuan bukan? Lalu apa yang salah? Apa ia tidak takut? Sejumlah pertanyaan mencoba mematahkan pikiranku yang berusaha kukendalikan berpikir logis.

“Hai!” sapaku memberanikan diri.

Mungkin saja ia bekerja malam toh? Pada jam dua dini hari? Pertanyaan di kepalaku saling menyerang, saling melemahkan dan saling memberi signal. 

Perempuan itu tak menjawab, dia masih berjalan ke arahku. Matanya menatapku tajam, sementara mataku fokus kepada kakinya. Dia berpijak pada tanah, berjalan normal. Dia manusia. Tapi, tak urung perasaanku kacau tak karuan, detak jantungku berpacu lebih cepat. Kami persis bertatapan. Dan mata itu adalah mata yang normal. Tak ada darah yang menetes.

“Hendak ke manakah malam-malam begini?” tanyaku lagi. Aku tersadar sapaanku yang pertama belum dijawabnya. Dia hanya tersenyum, penuh misteri.

“Ehm atau kah dia wanita penghibur?” tanyaku dalam hati menenangkan pikiranku yang makin kacau. Perempuan itu tersenyum, memperlihatkan lagi sederet giginya yang rapi. Tak ada yang aneh, semua normal. Tak ada yang mesti aku takutkan. Lalu perempuan itu melambaikan tangannya, seolah mengucapkan terima-kasih. Aku pun balik tersenyum. Tapi, kenapa aku merasakan angin dingin di sekitar tengkukku? Disusul pula oleh suara cekikikan dari arah perempuan tersebut.

Aku tak berani menoleh untuk melihatnya kembali. Suara itu semakin menggema di sepanjang gang, angin semakin dingin menerpa tubuhku. 
Dan satu lagi, harum bunga itu tak lekang di penciumanku. Harum bunga, entah harum bunga apa? Aku tidak begitu jelas mengenal jenisnya.

Penasaran aku menoleh ke arah perempuan tadi. Seharusnya perempuan itu masih di sana, berjalan ke arah bibir gang yang berakhir di jalan besar. Ke mana perempuan itu? Dia lenyap secepat kilat. Dan tiba-tiba ada kelebat bayangan putih melayang ke pucuk daun-daun bambu tepat di sebelah tembok pabrik seprei.

Sementara aku seolah terpaku di sana. Terkencing-kencing dalam celana, tak bisa bergerak. Kaki terasa berat. Peluh membanjiri seluruh tubuhku padahal angin Desember sangat dingin menusuk.


Aku pun tak sadarkan diri. Hanya lirih keluar dari mulutku sebelum akhirnya terasa gelap semua.

“Tolong ...!”

*****