Benarkah Santet Tidak Bisa Menyerang Orang yang Tidur di Lantai?

Sumber Gambar: Pesugihan.net

 

 

Santet adalah salah satu legenda terkenal yang ada di Indonesia. Ada empat golongan energi santet menurut buku The Secret of Santet, yaitu putih untuk penyembuhan, merah untuk memikat, kuning untuk pelet dan hitam untuk santet yang melukai. Oleh sebab itu tidak heran jika santet digambarkan sebagai ilmu ‘hitam’ karena memang santet hitamlah yang memiliki konotasi negatif.

Legenda terkenal tentang santet yang pernah diperfilmkan adalah Ratu Sakti Calon Arang. Film Indonesia yang rilis tahun 1985 ini disutradarai oleh Sisworo Gautama dan dibintangi oleh Ratu Horor, Suzanna dan aktor terkenal Barry Prima. Kisah Calon Arang ini telah melegenda sejak zaman dulu. Sampai sekarang film yang sudah berusia 35 tahun ini masih sering diputar ulang di salah satu layar pertelevisian Indonesia. Dan biasanya film jadul ini dipertontonkan pada waktu anak-anak sekolah tengah libur semester.

Calon Arang adalah janda sakti yang memiliki seorang anak perempuan bernama Ratna Manggali. Sebagai pemimpin tentunya Calon Arang sangat taat untuk menyembah leluhur kepercayaannya. Dia memiliki ambisi untuk merebut tahta kerajaan Daha dan merupakan penyembah Durga. Janda sakti ini tak pernah membuat warganya tenang, dia selalu meresahkan karena tempramennya yang keras dan kasar. Dia juga disebut-sebut sebagai nenek sihir atau dukun santet jahat. Gara-gara itu pula Ratna Manggali tak kunjung menikah walaupun usianya sudah cukup tua. Para lelaki tentu takut terhadap Calon Arang.

Pada suatu hari, Raja Daha mencurigai tingkah laku Calon Arang. Karena sakti, raja akhirnya mencari akal dengan mencari tahu kelemahan janda itu. Dan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan menikahkan Ratna Manggali dengan lelaki bernama Empu Bahula. Dan rahasia kelemahan Calon Arang pun semakin terbongkar setelah putrinya menikah. Pada akhirnya Calon Arang mengalami kekalahannya juga.

Sebenarnya Calon Arang merupakan film yang diangkat dari novel karya Pramoedya. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menulis novel berjudul Cerita Calon Arang pada tahun 1957. Gaya yang khas menjadikan novel tersebut mudah menghipnotis para pembacanya. Dan karena banyak yang menyukai kisah dalam novel tersebut, maka Cerita Calon Arang diperfilmkan pada tahun 1985.

Kisah Calon Arang ini kental akan kekejaman yang mengerikan. Dia merupakan janda yang tidak biasa karena dia dapat mengirimkan energi negatif dan gaib untuk membuat orang mati. Namun, kisah Calon Arang sepatutnya menjadi pembelajaran bahwa hal yang demikian itu memang benar adanya sehingga kita bisa waspada.

Memang hal seperti santet atau teluh ini dianggap konyol dan ‘tidak mungkin’ ada di kalangan masyarakat, terlebih saat ini zamannya sudah modern. Akan tetapi bukan berarti hal yang demikian ini tidak bisa terjadi. Karena santet tidak tampak, maka kepercayaan orang modern terhadapnya sangat kecil. Namun demikian, tidak ada yang bisa memaksa orang lain untuk percaya begitu saja dengan kisah-kisah santet yang ada, mengingat warga Indonesia berhak berpendapat dan memilih, termasuk memilih keyakinan atas apa yang ingin dipercayainya.

Seorang pendekar silat A Masruri menjelaskan dalam bukunya The Secret of Santet, bahwa salah satu cara menangkal santet adalah dengan tidur di lantai. Konon katanya, jin dan bumi sama-sama memiliki muatan negatif. Oleh karena itu, jika kandungan muatannya sama, logikanya maka yang terjadi adalah saling tolak. Sehingga orang yang dikirim santet akan selamat jika dia tidur di lantai, sebab jin tidak mampu mendekatinya. Akan tetapi, benarkah yang demikian itu terbukti? Atau mungkin memang terbukti, tetapi tidak semua korban santet mengalami keberuntungan yang serupa? Mungkin pertanyaan tersebut bisa terjawab melalui dua kisah berikut ini.

Kisah terkena kiriman santet berbeda dialami oleh dua orang warga Desa Sukarama. Pada kasus Ajeng, tidur di lantai tidak mampu menjadi solusi untuk menangkal santet yang mengincarnya. Ajeng mengetahui dirinya akan terkena serangan santet melalui beberapa Ustaz yang mencoba mengobati sakitnya yang aneh: sakit perut seperti ditusuk-tusuk, perut mengembung dan seperti terisi batu yang bergerak-gerak.

Kemudian, karena dia telah mengetahui hal tersebut, dia pun memutuskan untuk tidur di lantai sebagai pencegahan serangan lanjutan. Dia yakin dengan tidur di lantai santet tidak akan bisa menyerangnya sebagaimana yang diketahuinya melalui artikel dan ‘kata orang tua’ yang memberinya saran. Sayangnya, apa yang telah dia percayai itu tidak berlaku baginya. Pada akhirnya Ajeng kembali mengalami serangan santet yang bahkan lebih ganas daripada yang sebelumnya.

Jika saja Ajeng tidak menemukan seorang Ustaz yang mampu mengobatinya setelah terkena serangan santet yang kedua tersebut, mungkin saja nyawa Ajeng sudah tidak terselamatkan lagi. Namun, terlepas dari perantara siapa pun yang mengobatinya, tentulah semua itu dikembalikan kepada kekuasaan Tuhan yang masih memberinya umur panjang.

Berbeda dengan kasus serangan santet yang terjadi kepada Bapak Abdul. Santet yang didapat Bapak Abdul berupa teror berdarah. Setiap pagi, pintu rumahnya akan dipenuhi dengan lelehan darah. Selasar rumahnya bahkan banyak ditemukan remukan beling. Karena berfirasat akan mengalami serangan santet lain, maka Bapak Abdul memutuskan untuk tidur di lantai bersama anak istrinya. Hal tersebut juga diyakininya karena sudah beberapa ‘orang tua’ memberinya nasihat yang sama. Dan bahwasannya tidur di lantai dapat menjadi penangkal agar santet tidak sampai kepada sasarannya. Oleh karena itu Bapak Abdul pun menurut dan melakukannya sesuai dengan yang telah banyak orang anjurkan.

 Beruntungnya, teori yang sudah lama dikenal tersebut memang berhasil membantunya. Pada malam Bapak Abdul tidur di lantai, suara ledakan keras terdengar di atas genting. Suara yang memekakkan telinga itu kemudian dipercaya sebagai kiriman santet yang mental. Sehingga keesokannya Bapak Abdul pun memutuskan untuk berobat kepada orang yang dipercayainya bisa memberikan bantuan tanpa harus menduakan Tuhan. Pada akhirnya kisah santet itu pun berakhir setelah beberapa kali Bapak Abdul mencari solusi dengan berobat ke sana-kemari.

Dari dua contoh berbeda tersebut bisa diambil kesimpulan bahwasannya tidak semua santet bisa ditangkal melalui tidur di lantai. Yang harus diwaspadai merupakan kekuatan santet itu sendiri. Tentu setiap dukun memiliki kemampuan yang berbeda dan ilmu yang berbeda pula. Tingginya ilmu santet yang dimiliki oleh dukun akan berpengaruh terhadap ‘kuat’ atau tidaknya ilmu jahat tersebut menembus tubuh seorang targetnya.

Oleh karena itu, tidak heran jika kasus Ajeng dan Pak Abdul memiliki perbedaan solusi dalam upaya penolakan santet. Setelah ditelusuri lagi, ternyata dukun yang menggarap santet untuk Ajeng memiliki ilmu yang tinggi sehingga dia bisa menembus dinding negatif yang dikandung bumi, dalam arti lain: tidur di lantai sama sekali bukan halangan. Sedangkan pada kasus Bapak Abdul, dukun yang mengirimkan santet pada keluarganya dapat dikatakan sebagai dukun berkekuatan ‘biasa’ yang tidak mampu menembus para korbannya yang berlindung kepada Tuhan melalui perantara tidur di lantai.

Namun demikian, terlepas dari apa pun kasus santet yang terjadi, kedekatan umat manusia kepada Tuhannya merupakan salah satu penentu. Sampai saat ini masih banyak orang yang percaya dan yakin jika kekuatan iman terhadap Tuhan, lah, yang akan menjaga dan melindungi diri dari mara bahaya. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa menyepelekan perihal santet tersebut walaupun tidak mempercayainya, sebab tidak ada manusia yang tahu takdir Tuhan di masa mendatang. Apalagi, barang seperti santet tak bisa terdeteksi oleh medis dan petugas berwenang. Mewawas diri menjadi satu-satunya cara awal untuk memproteksi diri dari niat jahat orang lain. Dan semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan.

 

Catatan: Nama orang dan nama desa bukanlah nama asli.