HAWA lembab langsung menerpa ketika masuk ke dalam rumah tua di Dusun Ngguron Desa Tegalsari Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Letaknya tidak jauh dari makam keramat Kyai Kasan Besari di Pesantren Gebang Tinular.
Lemari tua yang berisi buku-buku dan perkakas kuno kian menambah kesan keangkeran rumah yang sudah lama dibiarkan terbengkalai.
Ada juga sumur dan kamar mandi yang sudah ditumbuhi tanaman merambat dan berlumut.
Dari penurutan warga sekitar, rumah bertiang kayu tersebut memang sudah lama tidak berpenghuni.
Lantainya sudah retak di sana-sini. Demikian juga cat dinding, sudah banyak mengelupas.
Langit-langit di bagian ruang tengah dan dapur yang terbuat dari anyaman bambu (gedhek) juga sudah berlubang dan sebagian rusak parah terkena air hujan.
Menurut Mbah Cuk, demikian sapaan akrab laki-laki berjanggut panjang yang menemani Risalah Misteri, rumah kuno itu memang terkenal angker.
Bahkan salah satu pekerja yang sedang melakukan renovasi sempat ketakutan karena malamnya bermimpi ditemui laki-laki tinggi besar memakai jubah putih.
“Menurut dia, lak-laki dalam mimpinya ngomong dengan nada tinggi, “ndang rampungno, resiki!” ujar Mbah Cuk menirukan cerita si pekerja.
Setelah dibersihkan dan beberapa dahan pohon mangga yang mengarah ke rumah dipotong, kondisinya langsung berubah.
Bukan hanya menjadi lebih terang, rumah pun menjadi lebih hangat karena sudah tidak ada gangguan dari makhluk astral.
Namun sisa-sia keangkerannya masih terasa ketika Risalah Misteri mengunjunginya.
Hanya tokoh yang punya nyali dan diterima oleh penguasa gaib tanah Jawa yang mampu menaklukkan tempat angker ini.
Terlepas hawa mistis dan keangkerannya, rumah kuno itu ternyata juga bagian dari saksi sejarah ketika wilayah Tegalsari menjadi daerah perdikan di masa Kerajaan Mataram Islam.
Tepatnya saat Kyai Kasan Besari menjadi Lurah Tegalsari sekaligus pengasuh Pesantren Gebang Tinatar yang sangat tersohor karena merupakan pesantren pertama di tanah Jawa yang mengenalkan sistem pendidikan modern seperti yang umumnya diajarkan di pesantren-pesantren saat ini.
Hal itu yang mendorong Mbah Cuk dan para budayawan serta pemerhati sejarah berusaha mempertahankan ketika ada rencana rumah itu hendak dirobohkan oleh pemilik barunya. Atas kesepakatan bersama, mereka kemudian menemui mantan Gubenur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.
“Pak Anies memiliki kepedulian yang tinggi akan sejarah dan budaya Jawa. Sangat Njawani. Dengan keyakinan itu, kami meminta kepada beliau untuk membelinya karena mengandung nilai-nilai sejarah,” ujar Mbah Cuk.
Bukan hanya itu. Menurut Mbah Cuk, Anies juga memiliki aura peneduh sehingga makhluk astral pasti akan tunduk.
“Hal itu telah dibuktikan ketika beliau tidur di Ndalem Njero, kamar yang dulu digunakan Kyai Ageng Besari. Padahal selama ini tidak ada yang diizinkan tidur situ. Lagi pula (jika pun diizinkan) tidak ada juga yang berani karena wingit,” ujar Mbah Cuk.
Setelah direnovasi, menurut rencana rumah itu akan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk berbagai kegiatan seperti pengajian dan pertemuan warga. Selain itu juga akan digunakan sebagai rumah budaya yang dilengkapi perpustakaan. Nantinya akan ada sejumlah kamar yang bisa dimanfaatkan untuk tempat menginap bagi peziarah makam Kyai Ageng Besari yang datang dari luar daerah.
Sumedang Larang
Cerita tentang Anies Baswedan ‘menaklukkan” tempat angker bukan sekali ini saja. Saat berkunjung ke Sumedang, 11 Juni 2021 dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies sempat tidur di salah satu kamar di Gedung Negara yang sudah berumur ratusan tahun dan dikenal angker.
Pernah ada penyanyi asal Yogyakarta secara khusus mendapat undangan manggung di Kota Sumedang. Sebagai tamu kehormatan, pelantun lagu-lagu dengan musik synthetizer tersebut diinapkan di salah satu kamar di Gedung Negara.
Tidak disangka, saat tengah malam penyanyi tersebut tergopoh-gopoh lari keluar kamar dengan wajah ketakutan. Katanya ada mahluk halus yang mengganggu tidurnya. Katanya, kasur tempat tidurnya terangkat sendiri. Akibat kejadian itu, sang penyanyi hengkang dan pindah menginap di hotel.
Paginya, kisah ini diceritakan Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir kepada Anies Baswedan.
"Untung Bapak ceritanya pagi ini. Kalau tahu dari tadi malam, saya nyalakan video recording sebelum tidur. Biar ada rekamannya in-case saat terjadi kegaduhan," respon Anies sambil tertawa.
"Tetapi bagaimana tidurnya semalam, Pak?” tanya Bupati Dony.
"Nyenyak dan damai!," jawab Anies.
"Saya yang tidak bisa tidur. Sebab deg-degan, khawatir kalau Pak Anies tengah malam tiba-tiba lari keluar kamar seperti penyanyi itu," kata Bupati. "Tapi alhamdulillah, Bapak sudah dinyatakan lulus! Lulus menginap di Gedung Negara tanpa didatangi penunggu.”
Bupati Dony bahkan "menasbiskan" kelulusan Anies dalam pidato resminya saat acara penandatanganan kerjasama ekonomi Sumedang-Jakarta di Desa Tolengas, Kecamatan Tomo. Acara itu turut dihadiri oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan masyarakat Sumedang.
"Hari ini istimewa. Pak Anies semalam sudah menginap di Gedung Negara. Beliau bisa tidur dengan pulas tanpa ada gangguan apapun. Pak Anies sudah saya nyatakan lulus!" Ucapan Bupati Dony mendapat sambutan meriah dari hadirin yang mayoritas warga Sumedang asli, seakan memberikan ucapan selamat kepada Anies.
Gedung Negara Sumedang memang sudah berusia ratusan tahun. Gedung itu mulai dibangun pada tahun 1796 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan selesai pada tahun 1850 pada masa Bupati Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Soegih). Bisa dibayangkan suasana mistisnya. Ruangan-ruangan kosong dengan tembok tebal, atap tinggi, serta kamar tidur yang luas namun sepi.
Belum lagi, di lingkungan bangunan tersebut juga disemayamkan benda-benda pusaka warisan kerajaan Sunda kuno dan Kerajaan Sumedang Larang seperti Mahkota Binokasih, yaitu mahkota raja terakhir Kerajaan Pakuan Pajajaran (Sunda pra-Islam). Ceritanya, setelah Kerajaan Pajajaran runtuh (1579), empat orang utusan bangsawan mengirimkan mahkota tersebut kepada Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) selaku Nalendra Sumedang Larang (yang sudah memeluk Islam).
Pemberian mahkota emas seberat 5 kg tersebut secara simbolik merupakan legitimasi kepada Kerajaan Sumedang Larang sebagai pewaris sah Kerajaan Pajajaran. Mahkota tersebut masih tersimpan rapi bersama benda-benda pusaka lainnya. Dilihat dari tahunnya, umur mahkota tersebut sudah lebih dari 500 tahun.
Ada juga keris Naga Sastra milik Pangeran Kornel yang anti kolonial. Keris tersebut dikenal sebagai simbol perlawanan Kerajaan Sumedang Larang terhadap kolonial Hindia-Belanda. Saat bersalaman dengan Kolonel Dendels, Pangeran Kornel menggunakan tangan kiri sementara tangan kanannya memegang keris Naga Sastra. Sikap itu sebagai bentuk protes terhadap kerja rodi pembangunan Jalan Cadas Pangeran – bagian dari ruas jalan Anyer - Panarukan yang melewati Sumedang.
Selain keris, terdapat ratusan koleksi senjata peninggalan masa lalu baik dalam bentuk pedang, kujang, tombak, dan bahkan rencong.
Mengingat usia dan koleksi benda-benda klasik yang ada di kompleks Gedung Negara, tak heran jika berkembang cerita-cerita mistis seputar lokasi, bangunan, dan benda-benda yang ada di dalamnya. Kisah tentang diganggunya seorang penyanyi kenamaan dari kamar tidur Gedung Negara hanyalah salah satunya saja.
Rahasia Anies
Mungkin banyak yang bertanya, kenapa ketika menginap di Gedung Negara Sumedang Anies Baswedan bisa tidur nyenyak tanpa ada gangguan apa pun? Bahkan dinyatakan lulus dan mendapat sambutan luar biasa dari bupati, jajaran birokrat serta masyarakat kota penghasil tahu tersebut.
Inilah rahasianya. Sebelum sampai ke Gedung Negara, Anies sudah terlebih dulu sowan ke kompleks Pesarean Gede,yang terletak di Kampung Pesarean, Kota Sumedang. Di kompleks tersebut dimakamkan generasi pertama pendiri Kerajaan Sumedang Larang yaitu Pengeran Santri dan juga makam Pangeran Kornel. Anies datang berziarah dan diterima langsung oleh juru kunci utama yang masih keturunan Sang Pengeran.
Siapakah Pangeran Santri? Nama tersebut merupakan julukan dari Pangeran Koesoemadinata I atau Ki Gedeng Sumedang atau Maulana Solih (1530-1578). Disebut Pangeran Santri karena perilakunya yang berakhlak mulia sebagai hasil dari gemblengan di pesantren.
Meski bukan keturunan langsung bangsawan Sumedang Larang, Pangeran Santri dianggap sebagai peletak pertama garis Kerajaan Sumedang Larang Islam. Asalnya dari Cirebon, merupakan cucu Syekh Maulana Abdurahman atau Pangeran Panjunan dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut. Jika ditelusur, silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Pangeran Santri menikah dengan Nyai Ratu Pucuk Umun, yang tiada lain adalah keturunan langsung raja Sumedang kuno. Saat menikah, Ratu Pucuk Umum sudah memeluk Islam, sehingga keturunan selanjutnya dididik secara Islam. Dari pernikahannya dengan Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umun melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya.
Prabu Geusan Ulun inilah yang mendapat kehormatan warisan mahkota Binokasih dari Kerajaan Pajajaran pasca keruntuhannya. Sejak penyerahan mahkota tersebut, pusat peradaban Sunda otomatis berpindah ke Kerajaan Sumedang Larang.
Sampai di sini bisa dipahami mengapa Anies aman-aman saja menginap salah satu kamar keramat di Gedung Negara. Sebab sebelum masuk Gedung Negara, Anies telah terlebih dahulu sowan (ziarah) ke sesepuh yang menjadi pangkal pertama peradaban Sumedang Larang.
Anies memang dikenal selalu mengedepankan keadaban. Ia tahu dirinya sedang sowan di wilayah yang menjadi jantung peradaban Sunda. Adab bertamu: yang senior mesti dihormati, dan leluhurnya diziarahi.
“Kita diajarkan untuk kulonuwun terlebih dahulu kepada tuan rumah, termasuk para leluhurnya,” ujar Anies.
Lihat videonya di sini: Angkernya Rumah Tua di Dusun Ngguron Ponorogo