Cinta Terhalang Weton

Ilustrasi, kompasiana.com

 

Malam itu, Sawening duduk membisu sambil menyembunyikan wajahnya dari kemarahan Pak Broto, sang ayah. Dadanya bergedup kencang. Air mata tertahan. 

"Pokoknya bapak ndak setuju dengan hubunganmu sama si Narto itu. Bapak ndak ingin kamu celaka gara-gara melanggar adat leluhur. Ngerti, ndak  Ning?" 

Asap rokok tingwe mengepul memenuhi ruang tamu, mengikuti langkah Pak Broto yang mondar-mandir ke sana kemari. Membuat suasana bertambah suram. 

Sementara Bu Broto, memeluk Wening dengan penuh kasih sayang. Berusaha menenangkan anak gadisnya yang mulai berlinang air mata. Wanita itu begitu lembut. Dia bisa merasakan betapa sedihnya sang anak gadis. 

"Kamu tahu, kan, Nduk? Bulikmu Karti berpisah dengan suaminya gara-gara mereka itu pasangan ge-hing?" Pak Broto menatap tajam ke arah Wening.
 
"Terus, kamu lihat juga tetangga sebelah, Bu Narsih? Menjadi janda setelah suaminya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui itu? Mereka itu juga pasangan ge-hing, lo, Nduk! Ngerti ora?" Rupanya Pak Broto sudah dikuasai emosi. Nada suaranya semakin meninggi. 

"Sudahlah, Pak.l! Itu 'kan sudah garis Seng Kuasa. Kasihan anakmu sudah kayak gini, lo!"

Wening tetap membisu. Hanya isak yang terdengar. Lagi-lagi, dadanya berguncang menahan sakit. Bagaimanapun, Narto adalah cinta pertamanya. Pemuda dari kampung sebelah itu sudah mencuri hatinya sejak pertemuan di pesta panen setahun lalu. Pemuda lulusan sarjana yang tak malu turun ke sawah untuk sekadar membantu ayahnya sambil menunggu hasil lamaran kerjanya di sebuah perusahaan di kota. Gayung bersambut. Narto pun ternyata sangat mencintai Wening. Tidak bisa lepas dari bayangan Wening meski sedetik pun. Kedua hati yang sedang dihampiri dewi cinta itu saling bertaut.

Namun  dari pembicaraan kedua orang tua Wening dan Narto, hubungan mereka terancam kandas hanya karena pantangan weton. Pak Broto mengetahui bahwa weton lahir Narto adalah wage, setelah mengobrol langsung dengan bapak lelaki itu beberapa hari lalu. Sedangkan Wening lahir di weton pahing. Ge-hing ibarat air dan minyak, tidak akan pernah bisa bersatu. Dan kepercayaan itu tetap diyakini hingga kini. 

***

Keesokan harinya, Wening hanya tinggal di rumah. Pak Broto melarangnya pergi ke sawah untuk sekadar mengirim makanan. Tugas kali ini digantikan oleh Bu Broto, istrinya. Pak Broto tidak ingin Wening berjumpa dengan Narto sampai kapan pun. 

Namun, tanpa sepengetahuan Wening, Narto mengendap-ngendap di kebun belakang rumah. Dia menemui pujaan hatinya, mengajak bicara empat mata. 

Dengan hati-hati, Wening pun menemui kekasihnya itu. Mereka duduk di rerumputan, menikmati pepohonan dan semilir angin siang itu. Menyaksikan barisan daun talas bergoyang lembut ditiup angin. 

"Aku sudah mendengar semuanya, Dik Ning. Jangan takut, aku punya rencana. Demi janji kita waktu itu."

Wening diam sejenak sebelum akhirnya,

"Maafkan aku, Kang. Aku ndak bisa lagi meneruskan hubungan ini."

"Kenapa begitu, Dik? Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?"

Wening menunduk sambil menyembunyikan tetes air matanya yang mulai berjejalan keluar. Narto menghapus lembut jejak sedih itu dengan jemarinya.

"Maaf, Kang. Sebesar apa pun cinta Kang Narto padaku, ndak akan bisa melebihi kasih sayang yang bapak berikan  selama ini. Aku ndak mau jadi anak durhaka, Kang."

Narto tercengang. Rencana membawa Wening kabur, pudar seketika. Namun,  Narto pun menyadari dan harus menghargai keputusan pujaan hatinya itu. Meski memiliki perasaan yang sama, keputusan tak boleh dipaksakan. 

“Maafkan aku, Kang.” 

Air mata Wening semakin menderas. Sakit rasanya membunuh benih-benih cinta yang 'tlah tumbuh sekian lama. Ia berusaha bisa. 

"Biarlah aku terima keputusanmu, Dik. Tetaplah bahagia. Janji, jangan sedih lagi, ya!"

Wening mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan Narto yang masih terpaku. Tatapnya nanar. Antara kecewa, marah, dan kagum atas keteguhan hati kekasihnya. Cinta perlu pengorbanan. 

***

Pagi masih menyisakan embun. Namun, Narto sudah berkeringat karena berlari kencang sepanjang tegalan. Kabar yang diterimanya seperti cambuk di atas punggung kuda. 

“Benarkah We ... Wening...?”

“Iya, tadi pagi selesai sholat Wening gantung diri di kamarnya. Wening meninggalkan surat untuk keluarganya. Katanya, dia tidak sampai hati melawan kehendak orang tua, tetapi juga tidak bisa hidup tanpa kekasihnya. Mungkin ...”

Narto berlari. Ia tidak sanggup lagi mendengar cerita beberapa warga di sepanjang tegalan. Hanya sebait doa yang sempat terucap, “Semoga cinta kita menerangi jalanmu, dik.

Nganjuk, 30 September 2021