Kulkas Misterius

Dok. Pri by Canva

 

Sebuah apartemen peninggalan ibunya sudah tak lagi dihuni oleh siapapun. Kali pertama Amanda menginjakkan kaki usianya terbilang masih kanak. Tempat ini hanya dijadikan penginapan akhir pekan. Hanya dua orang asisten yang selalu membersihkan namun sekarang mereka memutuskan pergi. Entah apa alasannya!

 

Amanda urung bertanya. Dan, setelah menyelesaikan kuliah barulah dia kembali lagi ke sini.

 

Jemari tangannya meraih daun pintu lantas debu-debu di dalam menyeruak ke hidung mancung miliknya. Ia sempat terbatuk-batuk. Amanda rindu pada sang ibu setiap kali melihat sofa. Ia teringat saat dipangkuan, Amanda suka sekali bermanja-manja.

 

Andai saja ibu masih ada ingin rasanya Amanda mengulang sekali lagi. Pikirnya. Kain-kain penutup dia sibak lalu dilipat dimasukkan ke dalam gudang. Kaca jendela ia bersihkan dengan semprotan air. Lantai yang penuh dengan debu dipel dengan bersih mengkilap. Kini seluruh ruangan sudah terasa nyaman.

 

Amanda lekas mandi setelah itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Karena lelah dia belum sempat membersihkan dapur. Padahal perutnya sudah keroncongan. Ia memilih memesan makanan di aplikasi ponsel.

 

Langkah kakinya menuju dapur mencari gelas untuk membuat kopi yang ia bawa dari rumah. Bola matanya melirik sebuah kulkas yang bagian pembukanya dilapisi lakban. 

 

Amanda teringat pesan Ibunya, "Jangan pernah berani membuka kulkas ibu!" 

 

Aturan yang disampaikan kepadanya juga kedua adiknya dan seluruh penghuni apartemen yang tinggal di sini. Mungkin sudah waktunya Amanda tahu isi di dalamnya. Sekarang ibu sudah tiada mana ada yang akan melarangnya. Ia bebas melakukan apapun. 

 

Pelan-pelan Amanda mengambil pisau tajam, megaret bagian atasnya. Aktivitasnya terhenti ketika suara bel dari pintu depan berbunyi. Lekas ia menuruni tangga.

 

Seorang pengantar makanan ternyata sudah tiba. 

 

"Terimakasih," ucapnya.

 

Amanda kembali lagi ke lantai atas. Menuju dapur sebelah kamar ibunya. Mendekati kulkas misterius tersebut. Hatinya tak karuan saat jemarinya hendak mencongkel bagian tengah lakban. Sedikit lagi kulkas misterius itu bisa terbuka. 

 

Amanda menarik ganggang kulkas, "Astaga."

 

Spontan ia histeris dengan apa yang ada di dalamnya. Sebuah daging manusia yang membusuk dengan cairan darah yang mengental. Jari-jari yang tampak jelas. Bagian-bagian tubuh yang sudah terpotong seperti daging cincang. 

 

Amanda menutup matanya dengan kedua tangan. Lalu berlari menghindar. Sekarang ia benar-benar ketakutan berada di apartemen peninggalan ibunya.

 

Dalam benaknya ia bertanya-tanya, apakah ibunya seorang pembunuh? Sekejam itukah ibunya.

 

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kabur. Secepat mungkin. 

 

Amanda baru tahu sekarang, alasan sang ibu melarangnya untuk membuka kulkas misterius itu. Ia segera menelpon sang adik minta dijemput sesegera mungkin. Bahkan ia lupa kakinya yang telanjang tanpa alas sepatu. Pakaian santai dan rambutnya terurai berantakan. Tak ada waktu untuk berdandan.

 

Ia terus berdiri di halaman, mobil jemputan belum tampak di depan mata. Langit mendung gemuruh di dada semakin membuatnya gelisah.

 

"Duh, lama banget sih."

 

Suara burung hantu memekik telinga membuat bulu kuduknya berdiri. Beruntung sorot lampu mobil berjalan mendekat. Ternyata sebuah taksi lewat tapi sayangnya dompet Amanda tertinggal di dalam. Ia urung menghentikan taksi dan menumpang.

 

Taksi berhenti si supir diam saja di tempat. "Nggak, Pak." Tolak Amanda.

 

Meskipun sudah menolak taksi tersebut tetap terparkir di sebelahnya. Hanya tanda lampu berkedip sang supir memberi isyarat. Agar Amanda segera naik ke dalam taksi. 

 

"Maaf, Pak. Saya memang butuh tumpangan tapi dompet saya tertinggal di dalam. Saya nggak berani masuk. Kalau boleh menumpang gratis ke pusat Kota baru saya mau naik."

 

Sang Supir mematuk setuju. Amanda langsung duduk di kursi belakang. Taksi gegas melaju. Tak lama Amanda pergi adiknya baru sampai di depan gerbang. Membunyikan klakson.

 

"Pip..pip!!"

 

***

 

#listasgenre

PML, 28 Sep 2021

@AksaraSulastri