Pelantikan Anggota Ekskul di SMA Tugu Malang

Ilustrasi Pocong dan Lantai Berdarah (Foto: ceritahantukos.blogspot.com dan majalah-jurnalis.id)

Pukul 00.00 tepat kami dibangunkan. Seperti biasa, harus langsung memakai seragam lengkap dalam keadaan setengah sadar dan segera berbaris di depan kelas yang digunakan sebagai barak sementara.

"Berapa tujuh tambah tujuh kurangi tujuh kali tujuh bagi tujuh?" Bentak senior ke teman yang berdiri di sebelah kananku. 

Halah, tebakan itu lagi, pikirku malas dan tanpa sadar memutar mata ke atas. Apesnya, di kondisi segelap itu salah satu senior lain ternyata melihat ekspresiku.

"Hei, kamu! Kamu merasa pintar? Meremehkan pertanyaan kami? Turun kamu dua setengah kali!" Bentaknya sambil menunjuk ke arahku. Sial! Kenapa wajahku kayak rem blong, sih?

Turun yang dimaksud itu push up. Dua setengah kali? Haish! Alamat, nih! Mau tak mau nurut saja, deh. Aku memang salah sudah lepas kontrol tadi.

"Dua se-te-ngah, Deeek! Itu tadi tiga! Ulangi! Katanya pintar?"

Apes benar malam ini. Kurang lebih setengah jam, para senior bergiliran memberiku hukuman yang cukup membuat lelah. Untung saja aku sudah terbiasa mengikuti kegiatan semacam ini. 

Pukul 00.45 kami dibawa ke lapangan voli depan untuk kegiatan jurit malam. Satu persatu harus berjalan kembali ke kelas belakang menuju lantai dua, melewati tangga kayu, sendirian, dan tanpa penerangan.

Ah iya, sebelum lupa, gedung sekolahku ini terkenal angker. Ada banyak bercak darah yang tidak bisa hilang di ubinnya yang berwarna kuning. Katanya, ubinnya diganti berapa kali pun corak darah itu tetap merembes ke atas. Konon bekas pembantaian jaman penjajahan dulu. Entahlah.

Menurut cerita yang tersebar, di lantai aula merupakan tempat bekas darah yang paling banyak. Karena itu, di atas lantainya diberi rongga, kemudian dipasang lantai yang terbuat dari kayu sehingga corak darahnya tidak merembes ke atas. Pernah saat pelajaran olah raga di sana aku iseng membuka salah satu papan kayunya. Berharap bisa mengintip sebanyak apa bekas darah pembantaian itu. Namun ternyata, banyak sampah kertas yang sepertinya sengaja dibuat berserakan untuk menutupi ubinnya. 

Kabarnya, kalau hari mulai gelap dan ada siswa berlatih di aula sampai menimbulkan suara berdebum-debum, maka akan muncul penampakan tentara Belanda yang bajunya mirip di gambar kaleng biskuit terkenal, hanya saja tanpa kepala. Hiii!

Kembali ke lapangan voli tadi. Di kegiatan jurit malam, giliran antar junior diberi jarak lima menit. Ketika giliranku tiba, aku mulai merapalkan doa-doa. Aku berusaha tampak mantap dan berani di depan para senior. Demi menjaga gengsi. Setelah sampai di depan Kopsis, sinar dari bulan purnama mulai hilang. Masuk ke lorong depan UKS, gelapnya kian pekat.  Benar-benar tidak tampak apa pun hingga aku merasa seperti agak tercekik. (Kalian pernah mengalami sindrom begini enggak kalau gelap?)

Aku meraba-raba dinding kasar. Untung mengurangi rasa takut, aku memejam meskipun keadaan gelap dan mulai memperkirakan jarak dari UKS ke belokan tangga kayu. Perasaanku mengatakan selangkah lagi belok kanan. Sambil tangan tetap meraba memastikan. Namun, tiba-tiba aku merinding membayangkan kemungkinan menyeramkan ketika tanganku menggapai-gapai ke ruang kosong. Bagaimana kalau ada hantu-hantuan yang tangannya sedingin es tiba-tiba memegang pergelangan tanganku? Sepertinya mending langsung belok daripada kaget. 

Bhug! Rupanya aku salah perkiraan. Dahiku perih terkena tembok yang dari lantai sampai setinggi kepala dilapisi semacam kerikil kecil-kecil cokelat. Khas bangunan Belanda. Aku membuka mata sembari meringis kesakitan. Ternyata di belokan itu tidak ada hantu-hantuan. Aku pun langsung naik ke tangga yang sedikit terang karena teras lantai atas tak beratap. Ada perasaan lega telah melewati separuh jalan dari tempat angker itu.

Pelan-pelan aku naik. Ada yang melempariku dengan semacam kapur atau kerikil. Biasalah, paling juga senior karena biasanya di tempat yang terkenal angker begini akan ada senior yang berjaga. Hal itu justru membuatku merasa sedikit santai. Karena merasa ditemani.

Sampai di belokan tangga ke kiri, di pojokannya akhirnya nampak sesosok hantu-hantuan. Nah, kan! Apa kubilang? Mereka pasti bikin beginian untuk menakut-nakuti. Kupikir bentuknya semacam pocong seperti biasa. Rupanya kali ini mereka lebih kreatif. Hantunya berbentuk seperti jenglot, tapi tingginya sepinggang. Berbaju putih, mulut moncong panjang terbuka lebar, dan berambut panjang. Saat aku di depannya, dia bersuara, "Khaaah!" Seperti suara "Aakh" yang keluar setelah menyeruput kopi panas. Kaget, tentu saja. Namun, aku hanya mundur sedikit kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Pos demi pos terlewati, sampai tempat utama. Tak ada yang seseram tangga kayu tadi. Tangga kayu itu seram selain karena kabar yang tersiar selama ini dan rumornya banyak yang ketemu hantu di sana, juga karena tangga itu mengeluarkan derit saat diinjak. Aku sendiri belum pernah menemui hantunya, tapi tetap saja merinding.

Acara selesai menjelang pukul 3.00. Sekarang kami sudah resmi dilantik menjadi anggota baru ekskul. Kami merayakannya di parkiran sebelah UKS sambil membuat api unggun dan bakar jagung. Tak lupa kami memainkan gitar dan bernyanyi bersama. Senior-senior yang tadi tampak jahat, membaur duduk di antara junior. 

Seperti biasa, satu persatu dari junior menceritakan pengalaman berjalan sendirian tadi. Hantu-hantu apa yang ditemui. Senior mengatakan hantu yang disiapkan berupa tiga pocong-pocongan. Eh, ada salah satu junior yang mengatakan ketemu empat. Membuat kami semua merinding.

Giliranku pun tiba. Aku bercerita kalau tidak ada satu pun  pocong-pocongan yang kutemui. Beberapa senior terlihat mengernyitkan dahi. Dan ketika aku menceritakan jenglot yang kutemui tadi, raut muka para senior nampak kian heran. Lalu salah seorang dari mereka menyangkal, "Hah? Perasaan kami nggak bikin jenglot. Di tangga kayu kan sudah cukup seram, buat apa ditambah hantu? Ah, sepertinya kamu mengada-ada."

"Beneran, Kak."

"Terus bagaimana bisa kamu gak lihat pocong-pocongan? Tiga-tiganya kan standby terus?"

"Sepertinya di tiga tempat yang Kakak sebutkan aku berjalan sambil merem. Jadi gak lihat."

Karena penasaran dengan kisahku dan kisah pocong keempat tadi, sekaligus untuk menunjukkan bahwa pocong-pocongannya ada tiga, senior mengajak kami bersama-sama melewati kembali rute jurit malam. Kali ini sambil membawa senter, karena beberapa senior berencana sekalian merapikan bekas pocong-pocongannya.

Benar saja, di tiga tempat yang ada pocong-pocongannya memang kebetulan aku tadi merem. Tiga orang senior melanjutkan perjalanan bersama kami, yang lain memilih langsung bersih-bersih. Sesampainya di tempat aku bertemu jenglot tadi, justru tidak ada apa-apa. Bulu tengkukku mulai berdiri, tapi yang lain malah semakin yakin kalau aku mengada-ada. 

Kami lalu naik ke lantai atas. Kali ini menuju ke pos yang katanya ada penampakan pocong keempat. Samar-samar aku seperti mendengar suara jenglot tadi. Untuk mengurangi rasa takut, aku berusaha menajamkan pandangan, menoleh kanan-kiri dan ke belakang. Sebelum lebih jelas lagi, seniorku menghentikan langkah dan bersuara pelan, "Jenglot!"

 Aku melihat ke depan. Jantungku serasa melorot ke dengkul, mau langsung lari, tapi kaki seolah terikat. Bukan jenglot yang kulihat, tapi pocong. Kain pembungkusnya kusam, tampak lapuk. Tidak melompat seperti kata orang, hanya berayun-ayun mengerikan. 

Ada jeda beberapa detik sebelum rombongan lari ketakutan. Kecuali aku, kakiku membatu. Kemudian sebuah tangan sedingin es, empuk seperti balon air, menggenggam pergelangan tanganku. Persis seperti bayanganku sewaktu jurit malam tadi.

#ceritahoror

Reinhaart

Malang, 26/05/2021