Pesantren Angker - Santri Perempuan di Depan Pintu Kelas 1C

Kelas

Apa yang kukhawatirkan sepertinya terbukti. Apa yang aku tak sukai sekarang hadir. Kemanakah aku harus menumpahkan kekhawatiranku? Ketidaknyamananku? Ketakutanku? Apa yang kuhindari harus kuhadapi. Sendiri.

Orangtuaku tidak bosan-bosannya mengatakan aku harus berani. Aku harus mandiri. Tidak bergantung kepada siapapun. Aku harus bisa menaklukkan rasa takutku. Ayah biasanya selalu ada untuk menemaniku; mengurangi rasa takutku, jika tidak bisa dihilangkan. Aku merasa aman jika aku bisa melihat Ayah, meskipun hanya bayangannya saja.

Aku juga sadar kedua orangtuaku tidak sama denganku. Mereka tidak memiliki apa yang aku miliki. Mereka tidak melihat apa yang kulihat. Mata mereka tidak memiliki kemampuan yang sama dengan mataku. Mereka melihat apapun yang ada di alam nyata: tumbuh-tumbuhan, pepohonan, pagar, mobil, motor, dan lainnya.

Aku juga melihat itu semua . Tapi, apa yang kulihat ada yang tidak mampu mereka lihat. Jika mereka melihat pohon tinggi, maka aku melihat pohon tinggi itu dengan seorang perempuan berambut panjang dan bergaun putih sedang duduk di atas dahan yang besar. Jika orangtuaku melihat satu teras rumah beserta kursinya, maka seseorang lelaki berwajah pucat sedang duduk di kursi itu yang kulihat.  

Karena itu, aku tidak menyukai ide Ayah dan Ibu untuk memasukkanku ke pesantren. Bukan karena aku tidak menyukai pelajaran agama. Aku senang belajar dan senang mempelajari apapun. Meskipun begitu, aku harus jujur; aku lebih baik belajar menulis cerita pendek dan novel ketimbang belajar agama. Aku suka menumpahkan pikiranku ke dalam tulisan. Menjadi penulis adalah cita-citaku.

Ketidaksukaanku belajar di pesantren lebih kepada kekhawatiran dan ketakutanku akan kemampuanku untuk melihat yang gaib. Siapakah yang akan menemaniku ke kamar mandi? Tahu sendiri, kamar mandi itu tidak pernah tidak berpenghuni. Siapakah yang menghapus ketakutanku jika aku sedang berjalan di lorong yang temaram dan aku melihat apa yang aku tidak ingin lihat?

Apa yang menjadi reaksi teman-teman baruku jika aku bercerita kepada mereka apa yang kulihat, dan tidak mereka lihat? Apa yang akan mereka katakan jika wajahku tiba-tiba terlihat pasi? Apakah mereka akan mempercayaiku? Apakah mereka tidak menganggap diriku aneh? “Aneh” adalah istilah yang masih lebih baik ketimbang “gila”. Jika aku dianggap gila, apakah mereka tidak merundungiku?

Orang boleh saja bersekolah di sekolah agama, tidak berarti perundungan itu tidak ada. Seseorang boleh bersekolah dimanapun, merundungi yang berbeda dan ganjil adalah semacam kegiatan ekstrakurikuler. Ia bisa menerbitkan tawa di tengah rasa sepi berada jauh dari orangtua kita dan rasa lelah di tengah padatnya kegiatan di sekolah atau di pesantren. Dan aku menolak menjadi obyek perundungan.

Misal, apa yang aku hendak lakukan saat ini ketika aku melihat seorang perempuan, sepertinya remaja seperti aku dan teman-teman, di depan pintu kelas 1C—kelasku 1A—dekat dengan tembok pembatas yang tingginya setengah badan orang dewasa dengan railing besi di atas dinding tersebut? Perempuan itu berpakaian seragam seperti kami, dan berkerudung seperti kami. Wajahnya putih tetapi pucat dan tampak darah mengalir di kepalanya.

Ia selalu ada di sana setiap kali aku melewati pintu kelas 1C. Ia hanya berdiri mematung dan menatapku, dan hanya kepadaku. Mungkin, ia tahu hanya diriku yang mampu melihatnya. Teman-teman santriku beraktivitas seperti biasa jika sedang istirahat di depan kelas atau menunggu ustadz atau ustadzah tiba ke kelas. Mereka bersenda gurau, bergosip, tertawa terbahak-bahak.

Aku terkadang memperhatikan wajah mereka dan berusaha menyelidiki wajah mereka apakah mereka menyadari ada seseorang yang gaib di dekat mereka. Hasilnya nihil; tidak satu pun dari mereka menyadari kehadiran itu.

Ayah mengajariku beberapa surat dari Al-Qur’an yang dirapal jika ada kehadiran gaib.Kami biasanya membaca surat-surat tersebut bersama-sama. Itu juga yang aku lakukan; dengan berbisik, aku merapal surat-surat tersebut. Dengan lirih, aku meminta perempuan remaja itu untuk pergi.

“Pergilah kamu. Kami tidak mengganggumu. Jangan ganggu kami. Kehadiranmu mengganggu.”

Beberapa kali dalam beberapa hari, aku lakukan rapalan itu. Ternyata, itu tidak berhasil. Santri perempuan itu masih di sana. Tetapi, aku tidak terlalu kecewa. Terkadang, itu memang berhasil. Terkadang, kita harus menerima mereka yang gaib memang tidak mau bergeser dari tempat mereka.

“Mungkin, lafal Ayah yang buruk yang membuat mereka tidak mau pergi.”

Mungkin. Mungkin juga bukan itu sebabnya. Beberapa kali saat Maghrib datang dan azan berkumandang di masjid di kota kecil dimana aku tinggal, penghuni gaib yang penampakannya dapat membuat orang lari terkencing-kencing itu itu tidak pergi saat azan terdengar. Bagiku, hal ini terkadang menjadi misteri.

“Apa yang membuatmu ada di sini?”

Aku ucapkan pertanyaan itu dengan lirih agar tidak satu temanku pun dapat menyimak.

“Ada apa denganmu?”

Ia tiba-tiba menarik bibir di wajahnya yang pasi sehingga terbentuk senyum—satu senyum yang bisa membuat sore hari itu terlihat cerah dan sekaligus membuat bulu kudukku berdiri. Ia mengerti apa yang aku bicarakan. Ia paham apa yang aku tanyakan. Ia menanggapi pertanyaanku—dan bodohnya, aku tidak siap. Lututku terasa lemas. Keningku mulai mengeluarkan butir-butir keringat, di tengah angin sepoi yang mengurangi hawa panas sore itu.

Aku terpana dengan gambar-gambar yang muncul secara tiba-tiba di benakku. Lidahku kelu, tidak dapat mengeluarkan satu kata pun. Aku seperti terlempar ke suatu masa yang aku tidak tahu kapan, dan berada tepat di sebelah diri si santri perempuan remaja itu. Ia berusaha menaiki dinding pembatas, dan meletakkan kedua kakinya di antara railing besi dan permukaan dinding pembatas.

Salah satu kakinya diletakkan di atas railing, dan berikutnya kakinya yang lain. Lalu, si santri perempuan itu merentangkan tangannya dan melepaskan beban tubuhnya ke depan. Ia melayang bagai burung tak bersayap, hingga ia tidak lagi mampu melayang. Sebagaimana aku tak mampu mengeluarkan suara dan berteriak. Lidahku bagai kelu. Kepalaku berputar, dan kakiku tidak lagi mampu menahan beban badanku, dan beban pikiran dan beban apa yang aku saksikan.

Aku terjatuh, dan terbaring, dan senyap-senyap terdengar teriakan teman-temanku. Sebelum kesadaranku sepenuhnya pergi, aku masih melihat senyum santri perempuan itu, dan senyum itu masih tampak menakutkan.[]

 

Sumber gambar:

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTDoxatLvithsHiHVPr6pJzsoUCI9QAoqK3icpOKJ5ePx7_ax6RyuSACcAblFIEERKPVoQ&usqp=CAU