Calon Tumbal Pesugihan

yukepo,com

Senja menatap jauh ke depan, air sungai kecoklatan meriak perlahan. Gadis bermata sipit dengan rambut lurus panjang, melambai dipermainkan angin. Dia melamun di teras depan *lantin milik Paman Somad, yang memang sudah tidak dihuni beberapa waktu. Tapi rumah dan semua perabotan masih utuh, bersih, serta layak huni. 

 

Sore hari aktivitas di sungai cukup ramai, banyak speedboat berlalu-lalang. Senja diizinkan untuk tinggal di rumah terapung, karena kini dia sebatang kara. Gadis itu baru saja ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, yang mengalami sakit tiba-tiba tanpa sempat diobati. 

 

Senja suka suasana sepi. Udara segar dan tenang membuatnya nyaman berada di sana. Begitu terlena mendengar riak air sungai dan gelombang sesekali memukul batang-batang pohon, yang menyanggah seperti rakit di rumah hunian itu. Ombak hadir karena ada laju motor air atau speedboat lewat di dekat lantin. 

 

Sudah tiga malam berturut-turut Senja bermimpi hal yang sama, itulah sebabnya dia merasa bingung. Dalam bunga tidurnya, gadis berusia 23 tahun itu mendapati sebuah bola kaca berwarna biru. Terbang perlahan menghampiri dirinya. Tanpa sadar, dia mengangkat tangan kanan dan benda tersebut melesap masuk ke dalam telapak terbuka. Sampai di situ, dia terbangun. Hawa sejuk menyeruak di rongga dada setiap kali dia sadar dari mimpi. 

 

"Senja!" 

 

Sebuah panggilan menyentak lamunan. Gadis cantik itu mencari sumber suara, tapi tidak menemukan siapa-siapa di sekitarnya. Dia hanya sendiri.

 

"Senja, aku di sini!" panggilan itu terdengar lagi.

 

Lagi-lagi dia mengedarkan pandangan, berharap menemukan sosok yang memanggil namanya. Nihil! Bahkan di jarak 200 meter ada lantin lain, tapi tidak ada penghuni. Rumah-rumah di bantaran sungai, juga tidak terlihat ada orang yang menegurnya.

 

"Senja, buka telapak tanganmu!" suara itu memerintah.

 

Tanpa sadar diikuti perintah itu. Senja shock ketika melihat bola kaca berwarna biru, mengambang di permukaan telapak tangannya. 

 

"Aaahhh …!" jeritnya histeris.

 

Gadis itu mengibas-ngibaskan tangan, agar bola keluar dari sana. Tapi usahanya sia-sia. Benda itu tetap melekat. Namun,  keberadaannya tidak menyakiti tubuh Senja. Justru ada hawa sejuk merambat perlahan ke seluruh tubuh. Tapi, tetap saja dia bergidik ngeri.

 

"Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu!" 

 

Lagi-lagi suara itu berbicara.

 

"A-a-apa ma-ma-mau mu?" Senja tergagap.

 

"Tenang, tenanglah dulu! Jika kau ingin tahu, cobalah untuk tenang!" 

 

Lalu, gadis itu mencoba mengendalikan perasaan. Senja terdiam sambil menatap ke arah bola kaca yang berbicara dan mengambang di permukaan telapaknya.

 

"Kau gadis pilihan. Kau tidak punya ambisi, tidak ada dendam, jujur, suci dan ikhlas. Itu semua ada padamu, seperti keberadaan kami."

 

"Kami? Maksudmu?" 

 

Senja kembali kaget. Dia bingung sekaligus cemas. Satu pandangan yang terhidang di depan matanya saja, sudah membuat dirinya ngeri. 'Kami', itu berarti benda itu tidak sendiri.

 

"Ya, kami. Kau tidak perlu berpikir terlalu banyak. Cukup mengerti bahwa kau akan memiliki kami, dan kami pun siap ada untukmu, juga untuk mereka yang membutuhkan dirimu."

 

"Tapi, aku tidak mengerti maksudmu!"

 

"Nanti kau juga akan tahu. Percayalah, lewat kami, Tuhan memberimu berkah untuk kebaikan."

 

Setelah mengucap kalimat itu, bola biru kembali tenggelam di telapak tangan Senja. Gadis berwajah manis itu masih tidak mengerti. Dia terdiam merenung di teras rumah terapung. Langit penuh warna saga, perlahan berganti abu-abu dan menghitam. 

 

*

 

"Senja …, Senja! Kau dimana?" suara teriakan lantang terdengar dari daratan. 

 

Senja yang baru selesai mandi segera berjalan ke pintu untuk melihat siapa yang memanggilnya. Seorang gadis sebayanya datang terburu-buru, raut panik tergambar jelas.

 

"Mira, ada apa?" tanya Senja tatkala sahabat karibnya tiba di hadapan dengan napas ngos-ngosan.

 

"I-i-itu, Bang Soni … Bang Soni … di-di-dia …."

 

"Ada apa, Mir? Coba tenang dulu, ayo masuk!" Senja menuntun Mira ke dalam rumah dan segera memberinya segelas air putih.

 

Setelah meneguk sepertiga isi minuman, gadis berambut gelombang, berwajah penuh itupun lega. Beberapa saat dia menarik nafas dalam-dalam, lalu diembuskan dengan perlahan. 

 

"Ada apa dengan Bang Soni, Mir?" tanya Senja ketika melihat Mira sudah lebih tenang.

 

"Bang Soni sakit parah, Ja! Dia baru saja dibawa pulang dari kota, sekarang ada di rumahnya. Tadi aku sempat melihat dia, setelah mobil yang membawanya pergi. Apa kau tahu, Ja?" tanya Mira seperti orang yang habis melihat setan, "Bang Soni tidak seperti dulu lagi! Tubuhnya kurus kering tinggal rangka, wajahnya … wajahnya, oh … Tuhan! Sulit dikenali lagi!" jelas gadis yang bertubuh sedikit gempal.

 

"Apa benar begitu? Kamu tidak salah mengenali orang, kan?" Senja bertanya tak percaya. 

 

"Kamu tidak percaya? Ayo, kita ke rumah Bang Soni! Lihat sendiri, deh!" 

 

Merasa penasaran, Senja memutuskan untuk pergi menjenguk Soni. Setelah bersiap dan menutup pintu rumah, kedua sahabat itu menuju rumah Soni yang terletak di kampung sebelah. Butuh 40 menit untuk sampai. Benar saja, ramai warga kampung berkerumun di dekat kediaman Soni. Berita begitu cepat tersebar, hingga semua penasaran dan ingin tahu kebenarannya. 

 

Senja sempat ragu untuk masuk. Mengingat apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dia pernah menjalin kisah cinta dengan Soni, yang pada akhirnya pemuda itu dinikahkan dengan gadis kota. Saat melihat keberadaan kedua orang tua Soni, langkah Senja terhenti. 

 

"Senja, ayo masuk!" Mira mendesak sambi menyeret pergelangan tangannya. 

 

Kedua orang tua Soni melihat ke arah Senja, saat mendengar namanya disebut. Gadis itu semakin ragu melangkah. Di luar dugaan, ibu Soni malah melambai ke arahnya meminta Senja mendekat. Ayah Soni juga mengangguk. Kedua gadis segera melangkah maju. Tiba di depan orang tua Soni, Senja menyalami mereka. Dia dipersilahkan masuk ke dalam. 

 

Alangkah terkejutnya Senja melihat kondisi Soni yang tergeletak tak berdaya di sebuah kasur kapuk, di tengah ruang tamu rumah pemuda itu. Benar kata Mira, Soni berubah, tidak seperti dulu lagi. Wajah menawan dan tubuhnya yang atletis kini berbeda 180 derajat. Tatap mata yang elang berganti sayup tanpa jiwa, tubuh kurus kering tinggal kulit berbalut rangka. 

 

"Ada apa dengan Bang Soni, Bi?" pertanyaan terlontar dari Senja kepada ibu Soni.

 

"Entahlah, Senja. Bibi juga tidak tau!" jawab perempuan bertubuh gempal itu resah. "Sejak tinggal bersama istrinya di kota, kami tidak mendapat kabar apa pun. Tiba-tiba hari ini Soni diantar pulang dengan kondisi seperti ini."

 

Ucapan yang disertai seguk tertahan. Ayah Soni juga tertunduk lesu di ambang pintu rumah, seolah kehilangan kebanggaan keluarga. Pria paruh baya itu tidak mengerti, apa yang terjadi kepada anak tunggalnya. Terakhir kali dia melepas kepergian Soni saat selesai acara resepsi pernikahan, dan pindah ke kota bersama istrinya. 

 

Senja menjamah dahi Soni dengan tangan kanan. Tiba-tiba gadis itu seperti tersengat listrik halus. Lalu tampak oleh pandangan matanya, adegan demi adegan seperti tayang slide. Sebuah cuplikan yang hanya bisa terlihat oleh gadis itu. Dimana terlihat sosok seorang perempuan muda yang sedang melakukan sebuah ritual. Perempuan muda itu sedang membakar sebuah boneka di atas api bokor, yang terdapat selembar foto Soni di dekat bokor tersebut. Sedetik kemudian, Senja tersadar kembali saat melepaskan tangan dari dahi Soni. 

 

"Astaga!" desis Senja tak percaya.

 

Mira yang sempat mendengar ucapan Senja, lalu bertanya.

 

"Ada apa? Apa yang terjadi?" berondongnya cemas.

 

Mira terheran-heran ketika melihat wajah Senja tiba-tiba pucat. Sahabatnya tidak menjawab pertanyaan, malah membisu di tempat.

 

"Nak Senja, Kau kenapa?" kini giliran Ibu Soni yang bertanya. 

 

Senja masih tak menyahut, dia terkejut tatkala Mira mengguncang bahunya.

 

"Senja!" 

 

"A-a-aku tidak apa-apa!" jawabnya tergagap.

 

Dia sendiri bingung dengan apa yang terjadi. Senja tak mengerti mengapa dia mendapat penglihatan tadi. Namun ada sebuah suara halus yang berbisik di telinga gadis itu. 

 

"Mintalah semangkuk air putih kepada tuan rumah! Celupkan telapak tangan kananmu dan usapkanlah  air itu ke wajahnya!"

 

Sebuah perintah yang menuntun Senja. 

 

"Bi, boleh aku minta semangkuk air putih?" pinta Senja kepada Ibu Soni.

 

Walau agak membingungkan, wanita tambun itu segera berlalu ke dapur dan kembali dengan apa yang diminta Senja. Seperti perintah suara gaib tadi, Senja mencelupkan tangan kanannya ke dalam mangkuk, lalu mengusap air ke wajah Soni. 

 

Beberapa detik kemudian, sesuatu terjadi. Soni yang awalnya seperti mayat hidup, dengan tatapan kosong. Mendadak sadar dan terdengar helaan nafas panjang. Dadanya membusung ke atas sesaat, Kemudian terlentang baring kembali di atas kasur. Mata Soni menyapu ke segala arah, mengamati sekeliling. Dia tampak bingung. Seperti orang yang terbangun dari tidur panjang.

 

Hanya beberapa saat, Soni kembali bertingkah aneh. Pemuda itu tiba-tiba menjerit kesakitan sambil membekap perut dengan dua tangan. Tubuh kurusnya meringkuk, menahan derita yang dahsyat.

 

"Aaakkkhhhhh!" jerit Soni menjadi-jadi, "panas! Sakit! Aaakkkhhhhh, panas, sakit!" 

 

Warga yang tadinya mulai membubarkan diri, kini mengerumun kembali di dekat pintu. Mereka ingin melihat keadaan Soni lagi. Bahkan ada beberapa yang hendak masuk agar dapat melihat lebih dekat. 

 

"Ada apa denganmu, Soni?" tanya ibunya cemas.

 

"Bang Soni, kau kenapa?" Senja ikut bertanya.

 

Gadis itu ikut kebingungan melihat Soni menjerit kesakitan. Sekonyong-konyong Senja memegang perut pemuda yang pernah dicintainya dulu. 

 

"Aaakkkhhhhh, panas! Sakit!" hanya itu yang diucapkan Soni. "Huuaaakkkhh!" kini dibarengi rasa mual. 

 

Mulut Soni terbuka, seakan-akan ada yang hendak keluar dari sana. Cairan merah pekat merembes dari mulutnya. Soni tidak lagi menjerit. Berganti suara orang hendak muntah. Dengan reflek tangan kanan Senja memegang di perut Soni. Tanpa disadari ada hawa yang mencoba mendorong sesuatu dari dalam perut pemuda itu. 

 

Semua yang hadir bergidik ngeri melihat keadaan Soni. Matanya melotot, mulut menganga. Cairan kental berwarna merah kehitaman-hitaman semakin banyak keluar dari mulut Soni. Anehnya, telapak tangan kanan Senja tetap melekat di perut pemuda itu. Lama kelamaan bukan darah saja yang keluar, tapi ada makhluk hidup yang ikut bergeliat keluar dari mulut Soni. 

 

"A-a-apa i-i-itu?" giliran Mira terpekik melihat sesuatu yang bergerak di dekat mulut Soni. 

 

"Soniii!" ibu pemuda itu menjerit ketakutan melihat keadaan anaknya yang tak wajar. 

 

Soni terus saja memuntahkan isi perutnya. Hingga suatu ketika ….

 

"Huuaaakkkhh, aaakkkhhhhh …!" jerit panjang terdengar lalu dia tergeletak pingsan. 

 

Semua orang panik, berpikir Soni telah tiada. Namun dada pemuda itu masih naik-turun pertanda masih hidup. Bau busuk tercium dari cairan kental yang dimuntahkan pemuda itu. Ayah yang sejak tadi tergamam melihat kondisi putranya, mendekat dan memegang makhluk yang dimuntahkan ke dalam mangkuk berisi air. Ketika diamati, ternyata lintah. Ada beberapa ekor yang dimuntahkan.

 

"Oh Tuhan, ada apa dengan anakku?" ucap Ayah Soni ngeri.

 

"Apa itu, Pak?" tanya istrinya.

 

"Sepertinya anak kita diguna-guna, Bu!" sahut laki-laki itu.

 

"Tapi ini perbuatan siapa, Pak?" 

 

Terdengar kasak-kusuk tak jelas dari para warga yang hadir. Orang-orang berspekulasi sendiri-sendiri. Senja terpaku sejenak. Karena dia telah mengetahui sesuatu dari penglihatan singkat tadi, saat menyentuh kening Soni. Seperti sebelumnya, ada suara bisikan di telinga Senja. Kali ini mulutnya spontan mengatakan kalimat yang sama.

 

"Dia wadal ilmu pesugihan!"




#Ceritamisteri